15 April, Mengenang Demonstrasi Tiananmen 1989

Selasa, 15 April 2025 21:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Massa berkumpul untuk menyaksikan peresmian patung Dewi Demokrasi, yang dibangun oleh para pengunjuk rasa, di Lapangan Tiananmen pada akhir Mei 1989.
Iklan

Pada 15 April 1989, demonstrasi mahasiswa di Lapangan Tiananmen dimulai sebagai penghormatan untuk Hu Yaobang.

Tanggal 15 April 1989 bukan sekadar momentum berkabung atas wafatnya seorang tokoh politik Tiongkok. Pada hari itulah, api kecil dari rasa kehilangan, ketidakpuasan, dan harapan akan perubahan disulut oleh mahasiswa dan rakyat Tiongkok.

Api itu kemudian menyebar dan membesar menjadi demonstrasi raksasa di Lapangan Tiananmen, Beijing — pusat kekuasaan dan simbol negara. Apa yang dimulai sebagai aksi damai, berubah menjadi salah satu tragedi politik terbesar dalam sejarah modern dunia.

Latar Belakang: Sebuah Negara dalam Persimpangan

Pada dekade 1980-an, Tiongkok berada di tengah perubahan besar. Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, negeri itu meninggalkan model ekonomi sosialis tertutup dan mulai membuka diri pada pasar global melalui program Reformasi dan Keterbukaan. Ekonomi tumbuh, kota-kota mulai berkembang, dan investasi asing mulai masuk. Namun, pertumbuhan itu tidak terjadi tanpa konsekuensi.

  • Ketimpangan ekonomi meningkat pesat.

  • Korupsi di kalangan pejabat partai menjadi masalah serius.

  • Inflasi meroket, menghantam daya beli masyarakat.

  • Kontrol politik tetap ketat di bawah Partai Komunis.

Mahasiswa, intelektual, dan pekerja mulai mempertanyakan arah reformasi yang timpang ini — ekonomi tumbuh, tapi kebebasan sipil tetap dibungkam. Mereka menuntut perubahan politik sejajar dengan perubahan ekonomi.

Kematian Hu Yaobang: Pemantik Aksi

Pada 15 April 1989, Hu Yaobang, mantan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok, meninggal dunia karena serangan jantung. Bagi para mahasiswa dan reformis, Hu adalah simbol harapan. Ia dikenal sebagai sosok yang terbuka terhadap reformasi politik, pembela kebebasan intelektual, dan penentang keras korupsi.

Ketika Hu dipaksa mundur pada 1987 karena dianggap terlalu lunak terhadap gerakan mahasiswa, banyak yang merasa kecewa. Maka, kematiannya dua tahun kemudian memantik rasa duka yang berubah menjadi aksi protes. Mahasiswa mulai berkumpul di Tiananmen untuk mengenangnya — dengan puisi, karangan bunga, dan nyala lilin. Namun dalam waktu singkat, bentuk penghormatan ini berkembang menjadi tuntutan politik yang lebih luas.

Tuntutan Mahasiswa: Lebih dari Sekadar Reformasi

Aksi mahasiswa di Lapangan Tiananmen bukan hanya bentuk belasungkawa. Mereka membawa daftar tujuh tuntutan utama, yang antara lain mencakup:

  • Pengakuan atas kontribusi Hu Yaobang dan pemulihan nama baiknya.

  • Kebebasan pers dan kebebasan berbicara.

  • Transparansi kekayaan pejabat dan pemberantasan korupsi.

  • Dialog terbuka antara pemerintah dan perwakilan rakyat (terutama mahasiswa).

  • Reformasi sistem pendidikan dan jaminan kesejahteraan bagi lulusan perguruan tinggi.

  • Perlindungan hak-hak sipil dan pembebasan tahanan politik.

Aksi ini kemudian diikuti oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas, lalu menjalar ke berbagai kota besar seperti Shanghai, Chengdu, Guangzhou, dan Wuhan.

Eskalasi dan Ketegangan dengan Pemerintah

Pada akhir April, demonstrasi sudah menjadi pergerakan nasional. Pemerintah awalnya merespons dengan hati-hati, namun ketegangan meningkat setelah editorial di koran People's Daily (26 April 1989) menyebut aksi mahasiswa sebagai "kerusuhan yang disengaja". Hal ini menyulut kemarahan massa.

Pada 4 Mei 1989, tepat pada peringatan Gerakan 4 Mei 1919 — gerakan mahasiswa revolusioner pertama di Tiongkok — ratusan ribu orang turun ke jalan. Gelombang demonstrasi terus berlangsung selama berminggu-minggu. Mahasiswa mulai mogok makan, melakukan duduk diam massal, dan mendirikan tenda-tenda di Tiananmen sebagai bentuk perlawanan pasif.

Para pekerja dan warga sipil mulai bergabung, menjadikan gerakan ini lintas kelas dan profesi.

Titik Puncak: Militer Diturunkan

Setelah hampir dua bulan, pihak berwenang kehilangan kesabaran. Pada akhir Mei, pemerintah mengumumkan darurat militer di Beijing. Ribuan tentara dan kendaraan lapis baja mulai bergerak mendekati pusat kota.

Pada malam 3 hingga 4 Juni 1989, pasukan militer menyerbu Tiananmen. Mereka menggunakan peluru tajam, gas air mata, dan tank untuk membubarkan massa. Para demonstran — kebanyakan tidak bersenjata — ditembaki dan dikejar. Banyak korban jatuh, termasuk mahasiswa, warga sipil, dan bahkan tenaga medis yang mencoba membantu.

Hingga kini, jumlah pasti korban jiwa tidak pernah diumumkan secara resmi. Perkiraan bervariasi dari ratusan hingga ribuan orang tewas.

"Tank Man" dan Reaksi Dunia

Salah satu gambar paling ikonik dari abad ke-20 diambil pada 5 Juni 1989, sehari setelah pembantaian. Seorang pria tak dikenal berdiri sendiri menghadang laju tank militer. Aksinya menunjukkan keberanian sipil luar biasa, dan foto itu menjadi simbol global perlawanan terhadap otoritarianisme.

Reaksi dunia sangat keras:

  • Banyak negara Barat memberlakukan sanksi ekonomi dan diplomatik terhadap Tiongkok.

  • Komunitas internasional mengecam pelanggaran HAM besar-besaran.

  • Namun, Tiongkok secara resmi menyatakan bahwa tindakan itu perlu untuk "mengembalikan stabilitas nasional".

Dampak Jangka Panjang

Di dalam negeri, peristiwa ini menjadi tabu nasional. Buku pelajaran, media, bahkan hasil pencarian internet di Tiongkok daratan menyensor kata "Tiananmen 1989". Keluarga korban dibungkam, dan para aktivis diburu atau diasingkan.

Namun, gerakan ini tidak sia-sia:

  • Ia membentuk identitas politik baru bagi generasi muda Tionghoa di luar negeri.

  • Menjadi titik penting dalam gerakan hak asasi manusia global.

  • Menunjukkan bahwa rakyat bisa bersatu untuk melawan kekuasaan mutlak, walau dengan risiko besar.

Mengenang Harapan yang Dipadamkan

Tanggal 15 April adalah awal dari sebuah bab penting dalam perjuangan demokrasi di Tiongkok. Meski perlawanan mahasiswa Tiananmen akhirnya dipadamkan dengan kekuatan militer, semangat dan keberanian mereka terus menginspirasi gerakan sipil di seluruh dunia.

Dalam diam dan bayang-bayang sensor, suara mereka tetap hidup — menjadi pengingat bahwa kebebasan, meski terancam, tidak pernah benar-benar padam.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Harrist Riansyah

Penulis Indonesiana

80 Pengikut

img-content

Strategi Pertumbuhan Konglomerat

Senin, 25 Agustus 2025 08:46 WIB
img-content

Riwayat Pinjaman Anda dalam BI Checking

Kamis, 21 Agustus 2025 22:45 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler